ZAA (Oleh : Asdar, S. Pd)
Posted by aRAZAKy | Posted in
Hidup adalah permainan takdir, permainan ketentuan Ilahi yang bisa saja tampak berantakan, misterius, mencengangkan, mengagumkan atau bahkan menyedihkan, namun setiap alur desain penciptaan takdir kadang keteraturan dari sebuah maha karya yang sempurna dan kadang dijadikan sebagai memoar. Kehidupan memaksa kita untuk menerima semuanya tanpa ada alasan apapun untuk mengulanginya sebab itu adalah alunan kehendak tanpa sebuah kesalahan. Ketika kehidupan ini adalah rangkaian Mintakulburuj yang tertumpah secara alami dan sempurna di hamparan langit malam, maka tak ada alasan apapun untuk tidak menikmati keindahan itu. Dan mungkin kegilaan Majnun terhadap Laila tak sebanding dengan kegilaan para pecinta yang mampu menikmati keindahan senyum para kekasihnya, senyum yang terlahir dari kesederhanaan. Namun, Tidak sedikit dari kebanyakan para kekasih hanya memaknai senyum kekasihnya sebatas gerak tawa ekspresif yangg tidak bersuara untuk menunjukkan rasa senang, gembira, suka, dengan mengembangkan bibir sedikit. Namun tidak bagiku, Memaknai senyum Zaa, sama ketika aku memaknai susunan titik-titik bintang yang terhampar dengan sempurna dan membentuk titik-titik mintakulburuj. Aku menemukanmu di antara ronta jiwa-jiwa yang menangis dilapisan-lapisan kesendirian yang menjerembabku pada individu sendiri, dimana tak ada lagi keinginan untuk bercengkrama dengan siapapun. Namun ketika Zaa hadir, maka seberkas senyum pemecah kesunyian menggandengku pada mimpi-mimpi akan pertemuanku dengan salah satu bagian tubuhku yang hilang… Zaa, Perempuan zenit dan Nadir, yang setiap malam ingin kusyairkan kepadanya bait-bait Majnun, Puisi Khlil Gibran, atau sekeder ingin membuktikan sebongkah kestiaan layaknya Hachiko. Perempuan Sederhana dan misterius yang setiap pagi ingin kusapa selayaknya embun yang menyapa bumi tanpa sedikit kesalahan, seperti senja yang menyapa malam melalui intipan mega. Perempuan dengan seribu ketegaran namun memiliki sejuta alasan untuk membuatku tetap bertahan dan tersenyum. Takkan kukejar Zaa dengan pertanyaan-pertanyaan keegoan rasaku karena itu hanya akan menerjemahkan kebimbangan-kebimbanganya dalam sayap-sayap kesedihan, dan bahkan takkan kubelai Zaa dengan Paksaan-paksaan akalku, sebab itu hanya akan membuat kepakan-kepakan sayapnya terbang jauh. Aku ingin mengejarnya dengan segenggam kesabaran yang melindungi hatiku, sebab itu lebih akan menerjemahkan kekagumanku terhadapa senyumnya, dan aku akan membelainya dengan segumpal keikhlasan yang melekat di sebagian besar hatiku, sebab itu akan lebih membuatku mengenal arti kesabaran zaa. Dua belas titik senyum (keikhlasan, indah, menawan, menarik, penuh keanggunan, dapat mencairkan, sejuta makna, namun kadang penuh pertanyaan, yang kadang menusuk, namun semuanya penuh kedamaian, ketenangan, sebab senyum itu terlahir dari kesederhanaan) membuatku adiktif. Sebenarnya berat jauh Zaa, bahkan meniggalkannya hanya untuk menidurkan ragaku, tubuhku kadang sulit kubawa pada critical area, sebab yang kuyakini adalah sedepahpun ku tak ingin jauh dari Zaa.. pikiranku tak dapat kualihkan dari senyum punuh kesederhanaan yang kadang muncul sekali di antara seribu senyum yang ia tawarkan. Pikiranku tak dapat kularikan dari mimpi-mimpi kami untuk saling mengajarkan tentang kesetiaan dan kesabaran, tentang keikhlasan dan kesederhanaan, bahkan tentang keinginan saling menopang ketika kami berada dalam kerangkeng kesedihan yang amat. Zakiyah Nurmala, Perempuan yang meberiku sejuta alasan untuk tetap hidup, untuk menunggunya, untuk menantinya, untuk menjadi imamnya, dan untuk menjadikan perempuan terbaik yang akan menduduki salah satu ruang sepi hati. Namun, ketika Zaa bersedih, aku hanya sanggup menjadi saksi dari air matanya, membiarkan itu tumpah dan mengaliri jantungku, di mana nyawaku berdegup resah, karena menyakini luka dan kegetirannya. Luka dan kegetiran atas ketakutan kami terhadap pelukan keberpihakan takdir kelak. Sebenarnya ketakutanku zaa, bukanlah sebuah ironi, namun justru atmosfer yang hebat, dan itu teramat dahsyat, terkadang karena zaa, berwujud motivator yang luar bisa, sungguh, sayangnya kehadirannya selalu menetap di fikir sehingga menjadikanku takut merasa kehilangan. Dan ketika hujan menitipkan petuah : bahwa rasa yang tak kan terbunuh biarkanlah menjebak seperti dingin yang mendesis dalam sum-sum, tiba menyesak rindu dan menguji ketabahan. Kadang, ketika pagi, aku ingin menyelinap pada penggalan matahari yang muram, menemui sepotong senyummu, tempat dimana misteri kesederhanaanmu bersarang. Terkadang karena itu, aku menyelipkan senyum itu pada mimpi meski penuh dengan teka-teki. Zaa, kuharap penggalan senyumanmu terawat betah merumuskan kemurniannya, karena itu sekuntum mata rantai bagiku dalam menjaga nafasku agar berotasi dikitaran semesta senyummu, merahasia pada sepotong cahaya hingga membakar ribuan kecemburuan mesterik. Meski kutau terkadang rinduku terjebak, namun pagi menggambarkannya dengan sempurna, menggariskan dan menitipkan pada garis lengkung senyummu. Zaa…. Ketika Gibran mengajariku tentang kesederhanaan dan itu kutemukan tepat disetiap sudut rupamu maka “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana... seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu... Aku ingin mencintaimu dengan sederhana... seperti isyarat yang tak sempat dikirimkan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.” Dan ketika malam membisikkan Alunan kerinduanku pada zaa, maka tak ada alasan bagiku untuk berhenti mengaguminya. Selaknya hujan yang mengagumi bumi hingga menjadikannya pelangi, selayaknya bulan yang mengagumi malam dan menjadikannya purnama, atau bahkan selayaknya Majnun yang mengagumi Layla yang menjadikannya gila. Zaa, perempuan yang telah menempati pendapa hatiku, istimewa dalam singgasana keabsahan rasa yang kusulam dari alunan-alunan sutra kerinduan yang kutemukan dari bias matahati. Meski kusadari sejuta kata rindu yang kupersembahkan kepada setiap hari belumnya cukup menggambarkan kebesaran rinduku pada Zaa. Kebesaran rindu yang lahir dari kesederhanaan Cinta… Zaa, namanya membentuk lingkaran episiklik yang mengelilingi jutaan lingkaran rasa di hatiku, berlapis-lapis tak terhingga, dan semuanya tertata rapi dalam protocol jagat hatiku yang diatur oleh Sang Pemilik Cinta Tanpa Batas, satu saja Lingkaran episiklik Zaa keluar dari orbit Hatiku maka mungkin dalam hitungan detik hatiku akan meledak dan menjadi remah-remah. Zaa, Jaluddin Rumi menyaran aku untuk berkata kepadamu: “Nikmati waktu selagi kita duduk di punjung, Kau dan Aku; Dalam dua bentuk dan dua wajah - dengan satu jiwa, Kau dan Aku. Warna-warni taman dan nyanyian burung memberi obat keabadian Seketika kita menuju ke kebun buah-buahan, Kau dan Aku. Bintang-bintang Surga keluar memandang kita – Kita akan menunjukkan Bulan pada mereka, Kau dan Aku. Kau dan Aku, dengan tiada ‘Kau’ atau ‘Aku’, akan menjadi satu melalui rasa kita; Bahagia, aman dari omong-kosong, Kau dan Aku. Burung nuri yang ceria dari surga akan iri pada kita – Ketika kita akan tertawa sedemikian rupa; Kau dan Aku. Ini aneh, bahwa Kau dan Aku, di sudut sini… Keduanya dalam satu nafas.” Terkadang kami bersedih,,,, ketika aku dan zaa bercerita tentang kisah tentang cinta, kisah yang kujadikan sebagai pengantar tidurnya. Namun kesedihan kami bukanlah karena aku menyakiti Zaa, ataupu Zaa yang menyakitiku, tapi kesedihan kami adalah sebuah bentuk penggambaran rasa rindu yang tak sanggup lagi diuraikan dengan kata-kata. Aku kadang menganggap bahwa Tuhan telah mempermainkan kami dalam butir-butir Cinta yang mengalir disetiap urat nadiku. Tapi, Dengan kerinduan itu, kuyakini bahwa, Tuhan ingin menguji kebesaran rasa sabar kami untuk saling menanti, Menguji keluasan hati kami untuk saling merindu, Menguji Kelapangan Jiwa kami untuk saling memahami. Dan, inilah aku dan Zaa, melankolisme rasa mengkerangkeng kami dalam setiap tapak-tapak kerinduan menjadikan aku begitu takut kehilangan Zaa, meskipun dari fikirku sejenak saja. Bahkan kurasakan Majnun telah merasuki setiap sudut DNAku yang menjadikanku Gila akan perasaanku terhadap Zaa. Aku takut kehilangan Zaa setakut Majnun menyakiti Layla.
Comments (0)
Posting Komentar